Perjalanan Sunyi ke Tanah Suci: Catatan Umroh Mandiri

Hidup tidak selalu memberi jawaban dengan cepat. Ada kalanya semuanya terasa bising, padat, namun kosong. Begitulah hidupku beberapa bulan sebelum perjalanan itu dimulai. Pekerjaan berantakan, keuangan kacau, hubungan keluarga kering tanpa kehangatan. Aku berhasil menutupi semuanya di hadapan orang lain, tetapi di dalam hati, ada sesuatu yang runtuh perlahan.

Hingga suatu malam aku bermimpi berdiri di depan Ka’bah. Dalam mimpi itu aku tidak melakukan apa-apa, hanya memandang dan menangis. Ketika terbangun, mimpi itu tidak luntur seperti mimpi pada umumnya. Ia melekat di hati, memanggil, menuntut jawaban. Saat itulah muncul keinginan untuk pergi ke Tanah Suci, bukan dengan rombongan, bukan dengan teman, bukan dengan keluarga. Ada dorongan untuk menjalani perjalanan ini sendirian, untuk benar-benar merasakan proses kembali kepada Allah tanpa ketergantungan pada manusia.

Ketika aku menyampaikan niat itu, sebagian orang menertawakan. Yang lain mengingatkan risiko tersesat, biaya tak terduga, kesulitan bahasa, prosedur imigrasi, hingga kemungkinan gagal mengurus transportasi. Ada yang berkata bahwa umroh tidak untuk orang yang sedang rapuh. Namun entah mengapa, aku justru merasa inilah momen yang paling tepat. Luka terbesar kadang menjadi pintu paling dekat menuju Allah.

Keberangkatan terasa seperti pertaruhan besar. Di bandara, aku melihat rombongan jamaah lain berfoto bersama, tertawa, penuh antusiasme. Sementara aku hanya berdiri di sudut, memeluk ransel dan menenangkan diri. Tidak ada pelukan perpisahan, tidak ada salam rombongan, hanya diriku dan keyakinan yang kutipiskan dari sisa kekuatan batin yang hampir habis.

Sesampainya di Madinah, aku melakukan kesalahan pertama. Aku salah memilih pintu keluar bandara dan tersesat cukup jauh sebelum menemukan loket taksi resmi. Tubuh lelah, mental goyah, dan panas siang terasa menusuk kulit. Tetapi ujian pertama justru membuka pelajaran pertama: pertolongan Allah tidak pernah absen. Seorang sopir taksi yang tidak bisa bahasa Indonesia dan hanya sedikit bahasa Inggris membantuku, bahkan menolak uang tambahan yang kupaksa berikan. Ia berkata pelan, sambil menunjuk ke langit, seakan ingin mengingatkan siapa yang sebenarnya sedang mengatur perjalanan ini.

Madinah menyembuhkan dengan caranya sendiri. Di Masjid Nabawi, semuanya terasa lembut dan tenang. Aku duduk lama di dekat Raudhah, bukan karena ingin memanjangkan doa, tetapi karena takut untuk selesai. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasakan hatiku tidak gelisah. Beberapa malam aku menangis tanpa suara, bukan karena sedih, tetapi karena merasa diterima setelah sekian lama memberontak.

Lalu perjalanan berlanjut ke Makkah. Nafasku tercekat ketika memasuki Masjidil Haram untuk pertama kalinya. Suara bacaan Al-Qur’an yang memenuhi udara membuat dada sesak bukan karena sakit, melainkan karena rindu yang tidak pernah bisa dijelaskan. Ketika Ka’bah terlihat, aku berhenti melangkah. Rasanya seperti pulang setelah puluhan tahun tersesat.

Hari-hari berikutnya berlangsung seperti perjalanan batin tanpa henti. Aku belajar menavigasi keramaian, memahami rute shuttle, mengatur jadwal ibadah dan istirahat, dan mengatasi ketakutan tersesat. Tetapi semua itu perlahan berubah menjadi bagian dari proses yang sangat indah. Aku mulai memahami kenapa banyak jamaah memilih melakukan umroh mandiri. Tidak hanya untuk kebebasan perjalanan, tetapi untuk keintiman ibadah. Ketakutan diganti oleh tawakal. Kesendirian berubah menjadi percakapan hati dengan Tuhan.

Namun proses di Tanah Suci tidak hanya soal ketenangan. Suatu hari aku kehilangan dompet berisi sebagian besar dana, dan aku terpukul hebat. Dalam posisi paling lemah, aku duduk lama di pelataran masjid. Aku bahkan tidak sanggup berdoa, hanya diam dan pasrah. Tapi malam itu, seseorang menemukan dompetku dan mengembalikannya tanpa mengambil sedikit pun. Aku merasa seperti disentuh langsung oleh pertolongan Tuhan.

Ketika waktu kepulangan mendekat, aku mulai menyadari pelajaran terbesar dari perjalanan ini. Makkah bukan sekadar tempat ibadah, tetapi tempat di mana seseorang bercermin pada dirinya sendiri. Apa pun yang ia sembunyikan selama hidup, semuanya akan terbuka. Ego, keserakahan, patah hati, kesombongan, semuanya muncul untuk disembuhkan.

Aku tidak pulang sebagai orang paling suci. Aku pulang sebagai orang yang akhirnya mengerti bahwa selama ini aku tidak pernah benar-benar sendiri. Allah tidak pernah menjauh. Justru akulah yang sibuk menjauh.

Banyak orang bertanya apakah aku merekomendasikan perjalanan tanpa rombongan. Jawaban jujurku selalu sama: perjalanan ini tidak untuk semua orang, tetapi untuk siapa pun yang siap untuk jujur pada dirinya sendiri. Bila Allah yang memanggil, semua jalan akan dibukakan, baik ditemani maupun seorang diri.

Ketika pesawat mendarat kembali di tanah air, aku membawa oleh-oleh terbaik yang tidak terlihat oleh mata. Keyakinan baru bahwa apa pun badai yang akan datang, aku sudah punya tempat untuk pulang. Bukan rumah, bukan kota, melainkan hubungan dengan Pencipta.

Dan setiap kali aku memikirkan perjalanan itu, satu hal selalu terngiang: Tuhan cukup. Selalu cukup, sejak awal sampai akhir.

Leave a comment