Jejak Sejarah dan Keindahan Abadi di Negeri Dua Benua

Setiap langkah di tanah Turki seolah mengajak kita menyelami kembali bab-bab indah sejarah Islam yang dulu hanya bisa dibaca dari buku. Kini, semua terasa hidup — setiap masjid, setiap menara, bahkan setiap hembusan angin membawa cerita lama tentang peradaban besar yang lahir dari iman dan ilmu.

Perjalanan kami dimulai setelah menunaikan ibadah di Tanah Suci. Hati masih hangat oleh ketenangan umroh, dan langkah berikutnya adalah mengikuti program umroh plus turki. Awalnya, kami berpikir ini hanya pelengkap perjalanan, sekadar jalan-jalan sebelum pulang ke tanah air. Tapi ternyata, Turki memberi lebih dari itu — pelajaran hidup yang menembus batin.

Begitu mendarat di Istanbul, suasana langsung terasa berbeda. Kota ini seperti lukisan yang hidup, di mana modernitas dan sejarah berpadu tanpa kehilangan ruhnya. Di satu sisi, gedung-gedung tinggi dan kafe berlampu hangat berdiri megah. Di sisi lain, menara-menara masjid menjulang, mengingatkan bahwa Islam pernah menjadi jantung peradaban di sini.

Langkah pertama kami berhenti di Hagia Sophia, bangunan yang dulu menjadi gereja Bizantium, lalu diubah menjadi masjid oleh Sultan Mehmed II setelah penaklukan Konstantinopel. Saat melangkah masuk, suara langkah kaki terdengar bergema di antara dinding batu raksasa. Kubah besar di atas kepala memantulkan cahaya matahari yang masuk dari jendela tinggi. Kaligrafi bertuliskan “محمد ﷺ” terpampang megah, berdampingan dengan ukiran mosaik kuno. Rasanya seperti menyaksikan dialog damai antara dua peradaban.

Dari Hagia Sophia, perjalanan berlanjut ke Masjid Biru atau Sultan Ahmed Mosque, ikon Istanbul yang tak pernah sepi pengunjung. Masjid ini benar-benar memukau dengan enam menaranya dan ribuan ubin biru yang memantulkan cahaya lembut dari langit-langit. Saat adzan berkumandang, seluruh suasana menjadi sunyi. Aku menutup mata, membiarkan suara itu menembus hati. Adzan di Istanbul memiliki keindahan tersendiri — lembut, tapi menggugah jiwa.

Kami juga tak melewatkan Topkapi Palace, istana megah tempat para sultan Utsmani memerintah selama berabad-abad. Di sini, kami melihat peninggalan sejarah Islam seperti pedang Rasulullah ﷺ dan jubah beliau yang dijaga dengan penuh kehormatan. Melihatnya dari dekat membuat dada bergetar. Rasanya seperti diingatkan bahwa kejayaan sejati tidak datang dari kekuasaan, tapi dari keteguhan iman dan amanah.

Dari Istanbul, kami menuju Bursa, kota yang menjadi awal berdirinya kekhalifahan Utsmani. Perjalanan ditempuh sekitar dua jam dengan kapal feri melintasi laut Marmara. Suasananya jauh lebih tenang dari Istanbul. Di Masjid Ulu Cami, kami menemukan kedamaian yang sulit dijelaskan. Kaligrafi besar bertuliskan nama Allah سبحانه وتعالى dan Rasulullah ﷺ menghiasi dindingnya. Seorang imam muda menyapa kami dengan senyum ramah dan berkata, “Bursa adalah kota doa. Siapa pun yang datang ke sini dengan niat baik, akan pulang dengan hati yang bersih.”

Kami juga mengunjungi Makam Osman Gazi dan Orhan Gazi, dua pendiri dinasti Utsmani. Dari puncak bukit tempat makam itu berada, pemandangan kota Bursa terlihat indah. Di sini aku menyadari satu hal — betapa kecilnya manusia dibandingkan sejarah yang mereka tinggalkan. Osman Gazi memulai segalanya dari niat yang tulus, bukan ambisi kekuasaan.

Setelah beberapa hari, kami melanjutkan perjalanan ke Cappadocia, salah satu tempat paling unik di dunia. Dari jendela bus, pemandangan berubah menjadi lembah batu dan bukit berwarna pastel. Angin dingin berhembus lembut, seolah membisikkan rahasia zaman purba.

Subuh itu kami naik balon udara. Saat balon perlahan naik ke langit, matahari muncul dari balik bukit. Langit oranye keemasan, dan di bawah kami terlihat puluhan balon lain melayang indah. Semua orang di dalam gondola terdiam, mungkin sedang terpukau seperti aku. Dalam hati aku berdoa, “Ya Allah, Engkau ciptakan dunia ini begitu indah agar kami tak lupa bersyukur.”

Selain pemandangan alam, Cappadocia juga menyimpan sejarah luar biasa. Kami menjelajahi Derinkuyu Underground City, kota bawah tanah yang dulu digunakan umat Kristen awal untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Lorong-lorong sempitnya membuatku kagum — betapa besar perjuangan manusia untuk mempertahankan keyakinan mereka. Saat melangkah di kegelapan itu, aku teringat pada perjuangan umat Islam di masa awal dakwah Rasulullah ﷺ. Ternyata, jalan menuju kebenaran memang selalu penuh ujian.

Menjelang akhir perjalanan, kami kembali ke Istanbul. Malam terakhir, kami berjalan di Galata Bridge, menikmati hembusan angin sambil menatap lampu-lampu kota yang memantul di permukaan air. Kapal ferry lalu-lalang, dan suara adzan Isya terdengar dari kejauhan. Saat itu, aku merasa seolah waktu berhenti. Semua keindahan, sejarah, dan pelajaran hidup berpadu jadi satu dalam ketenangan yang sulit diungkapkan.

Turki memberi kami banyak hal: mata yang terpesona, hati yang lebih lembut, dan iman yang lebih dalam. Setiap langkah di negeri ini seakan mengajarkan bahwa kejayaan sejati tidak hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga nilai-nilai yang diwariskan.

Ketika pesawat akhirnya lepas landas meninggalkan Istanbul, aku menatap ke bawah. Kota itu perlahan mengecil, tapi jejaknya tertinggal kuat di hati. Perjalanan ini bukan hanya wisata, tapi juga ziarah sejarah dan renungan jiwa.

Dan aku tahu, jika suatu hari nanti ada yang bertanya, tempat mana yang paling membuatku merasa dekat dengan Allah سبحانه وتعالى setelah Makkah dan Madinah — jawabanku pasti, Turki.

Leave a comment